Internet menuju ke “titik tanpa kembali” di mana kontrol sosial dan ketergantungan pada aplikasi yang membuat ketagihan meningkat hingga ke tingkat yang tidak dapat dipertahankan, demikian kata Geert Lovink, seorang profesor di Universitas Ilmu Terapan Amsterdam. Lovink, dimana dia turut serta dalam menciptakan pendahulu internet yang disebut Kota Digital, mengklaim dalam esai barunya, “Extinction Internet“, bahwa metode pemantauan dan kontrol yang semakin canggih berarti bahwa “kebebasan berekspresi yang kita anggap ada sebenarnya tidak lagi benar-benar ada.”
Terlepas bisa dan tidaknya Internet diperbaiki, munculnya algoritma yang didorong oleh data menimbulkan sejumlah pertanyaan penting tentang penggunaan data dan dampaknya terhadap hasil sosial-politik. Model statistik yang mengandalkan big data, yang melibatkan pengumpulan data perilaku manusia dalam jumlah besar, berpotensi melebarkan jurang kekuasaan antara produsen informasi masal dengan minoritas konsumen informasi, dimana produsen informasi masal mengontrol cara pengumpulan dan interpretasi data.
Pemikiran statistik telah memiliki kekuatan politik dan ekonomi yang signifikan sejak konsepsi statistik di Eropa modern. Selama abad ke-18, konflik bersenjata mendorong negara-negara untuk mengumpulkan informasi tentang populasi, sumber daya alam, dan industri negara mereka. Mengumpulkan dan menyimpulkan data dari data tersebut untuk meningkatkan efisiensi administratif birokrasi negara karena para pemimpin lebih punya kuasa untuk mengalokasikan dana dan personel.
Negara-negara yang memiliki lebih banyak informasi statistik mendapatkan keuntungan kompetitif atas negara-negara dengan informasi lebih sedikit, menurut Alain Desrosières dalam “The Politics of Numbers“. Disaat yang sama, para matematikawan yang bertanggung jawab atas interpretasi data dan pembuatan metode kuantitatif baru, mencapai status sosial yang lebih tinggi dengan menerapkan teknik mereka pada masalah yang relevan dengan kebijakan. Asal-usul data dan statistik sebagai sarana kontrol sosial menunjukkan motivasi yang mendalam bagi mereka yang berkuasa untuk mengumpulkan dan mengeksploitasi data dalam jumlah besar.
Seperti disaat awal-awal analisis berbasis data merevolusi administrasi negara dan memajukan kepentingan mereka yang berkuasa di masa lalu, big data dan algoritma yang didorong oleh data sedang mengubah tata kelola dan memperkuat posisi politik para orang kaya saat ini.
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa otoritarian bukanlah satu-satunya tempat di mana big data mengikis hak-hak sipil dan memperkuat posisi yang beruntung dalam hierarki sosial. Penyalahgunaan data yang menggerakkan politik komputasional dapat diamati bahkan di demokrasi yang mapan seperti Amerika Serikat. Karena ada relatif sedikit pembatasan hukum terkait privasi, akses, dan pengumpulan informasi yang terkait dengan big data, perusahaan teknologi besar dan kampanye politik mempekerjakan teknologi digital dengan mengorbankan warga biasa.
Peningkatan kecanggihan metode statistik untuk pengumpulan dan manipulasi big data berpotensi memperlebar jurang antara produsen biasa dan pemegang kekuasaan yang mengendalikan data dan lingkungan informasi. Sementara politik komputasional yang didorong oleh big data di Amerika Serikat mengancam integritas sistem demokratis Amerika. Untuk mengurangi bahaya dari big data tanpa memaksa internet menjadi punah, pembuat kebijakan harus merumuskan undang-undang domestik dan internasional baru untuk mengatur penggunaan teknologi yang muncul dan membuat algoritma yang didorong oleh data supaya lebih transparan.
Tinggalkan pesan